Senin, 19 November 2007

Jangan Berzikir Seperti Beo

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dari Aisyah binti Abu Bakar r.a. dikatakan bahwa Rasulullah saw senantiasa mengingat Allah SWT (zikir) dalam setiap saat. Pada hadis lain diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, "Kalau aku membaca subhanallah, alhamdulillah, la ilaaha illallah, dan Allahu Akbar, bacaan itu lebih aku gemari daripada mendapatkan kekayaan sebanyak apa yang berada di bawah sinar matahari" (HR Muslim).

Kita mukminin dan mukminat yang rakyat biasa, yang pedagang, yang pengusaha, yang penguasa, yang ulama, yang pegawai negeri sipil/swasta, yang tentara/ polisi, setiap hari mengucapkan zikir subhanallah, alhamdulillah, Allahu Akbar, la ilaaha illallah. Tetapi mengapa kita tetap jauh dari Allah SWT? Maling sandal, maling ayam, maling kambing, maling aspal, maling hutan, jalan terus. Suap, pungli, jalan terus. Korupsi, kolusi, nepotisme, jalan terus, dan seterusnya.

Syahdan ada seekor burung beo yang sangat fasih mengucapkan subhanallah, alhamdulillah, Allahu Akbar, dan la ilaaha illallah. Setiap saat diulang-ulangnya dengan sangat jernih kalimat-kalimat zikir itu. Suatu hari burung beo itu disambar kucing. Terdengar nyaring suaranya yang sedang sekarat, "keak, keak, keak...!" Kemudian mati. Pemiliknya, seorang kiai sepuh pengasuh pondok pesantren, terlihat amat sedih. Setelah agak reda tangisnya, pak kiai lalu memanggil para santrinya.

Pak kiai bertanya, apakah kalian tahu mengapa aku merasa begitu sedih dan menangis? Aku terbayang bahwa sebagian dari kita akan mati seperti matinya burung beo itu. Burung itu setiap saat mengucapkan kalimah zikir, tetapi ketika mati ucapan yang keluar adalah keak, keak, keak...! Aku menangis membayangkan bahwa sebagian dari kita setiap hari berzikir mengucapkan subhaanallah, alhamdulillah, Allahu Akbar, la ilaaha illallah, tetapi ketika sakaratul maut tiba kita tidak membawa zikir tersebut. Alangkah amat menyedihkan! Alangkah celakanya! Lalu pak kiai sepuh itu melanjutkan, kita tidak berzikir seperti berzikirnya anak gembala kambing dalam kisah Umar bin Khatab yang amat terkenal itu.

Ketika dilihatnya seorang anak gembala miskin dengan pakaian compang camping sedang menggembalakan kambing yang amat banyak milik majikannya, Umar bin Khatab bertanya, Nak, bolehkah kubeli kambing yang sedang kau gembalakan itu satu ekor? Si anak gembala menjawab, Kambing ini bukan milikku, tetapi milik majikanku. Aku tidak boleh menjualnya. Umar bin Khatab membujuk, Kambing itu amat banyak. Apakah majikanmu tahu jumlahnya? Apakah dia suka memeriksa dan menghitungnya? Dijawab, Tidak, majikanku tidak tahu berapa ekor jumlah kambingnya. Dia tidak tahu berapa kambing yang mati dan berapa yang lahir. Dia tidak pernah memeriksa dan menghitungnya. Umar bin Khatab terus membujuk, Kalau begitu hilang satu ekor kambing, majikanmu tidak akan tahu. Lagi pula aku mau membeli kambing yang kecil saja supaya lebih tidak ketahuan. Ini uangnya, terimalah! Ambil saja buat kamu untuk beli baju atau roti. Anak gembala itu tidak tergiur. Dia tetap tidak mau menjual kambing yang bukan miliknya.

Umar bin Khatab dengan nada yang ditinggikan (marah) berkata, Mengapa kamu ini, bodoh benar! Kambing itu amat banyak. Majikan kamu tidak tahu jumlah-nya. Kalau kamu jual satu, majikan kamu tidak akan tahu. Di sini juga tidak ada orang lain. Hanya ada aku dengan kamu. Tidak ada orang lain yang tahu. Lihat di sekitar kamu, apa ada yang lihat? Nih uangnya, bawa sini kambingnya! Kamu takut sama siapa? Anak gembala miskin yang pakaiannya compang-camping itu, dengan tetap tegar menjawab, Takut Allah. Allah menyaksikan. Allah Mahatahu!

Mendengar jawaban anak gembala itu, Umar bin Khatab, lelaki tinggi besar, gagah perkasa, jago perang, jago berkelahi, amir al mu'minin (pemimpin kaum beriman), menangis. Lemah lunglai seluruh sendi tubuhnya.

Anak gembala itu walaupun miskin, menghadirkan Allah dalam setiap denyut dan detak kehidupannya. Walaupun miskin dia tidak menjual imannya dengan uang atau harta. Walaupun secara lisan mungkin dia tidak mengucapkan kalimah zikir, tetapi dari tindakannya dia berzikir. Zikir yang sesungguhnya, Selalu mengingat Allah! Selalu menghadirkan Allah! Sedangkan kita mukminin dan mukminat yang rakyat biasa, yang pedagang, yang pengusaha, yang penguasa, yang ulama, yang pegawai negeri sipil/swasta, yang tentara/polisi, sebagian terbanyak dari kita bukan sedang berzikir tetapi sedang membeo. Astaghfirullah..., kita cuma beo!***

Tidak ada komentar: